Kamis, 08 Maret 2012

Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam

A.    Pendahuluan
Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan, seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu ialah mengenai bagaimana proses berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian. Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua, pembenaran (thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses berpikir yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan sederhana dan seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan sederhana itu diberi pembenaran sesuai dengan keyakinan manusia yang diyakininya. Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah) dari sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang proses mental yang bersifat subjektif yang dikaitkan dengan hal-hal empirik yang bersifat objektif, dari hal itu diharapkan dapat berpengaruh pada penguasaan manusia terhadap data konkrit sehingga dapat mendukung pada pembenaran pengetahuan .
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah.




B.     Pengertian Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
1.      Pengetahuan
Pengetahuan, kata dasarnya yaitu tahu, kemudian mendapat awalan pe dan akhiran an imbuhan pe-an berarti menunjukkan adanya proses. Jadi menurut susunan perkataanya, pengetahuan berarti proses mengetahui, dan menghasilkan sesuatu yang disebut pengetauan. Jadi pnegetahuan disini memiliki arti sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia, keberadaannya diawali dari kecendrungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat manusia, yaitu dorongan ingin tahu yang bersumber dari kehendak atau kemauan. Sedangkan kehendak atau kemauan itu adalah salah satu unsur kekuatan kejiwaan. Adapu unsur lainnya adalah akal pikiran (rasio) dan perasaan (emotion) [1].
Adapun pengetahuan menurut Dr. M.J. Langeveld, ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui[2]. Dimana pengetahuan tersebut terbentuk karena adanya hubungan subyek dan obyek, sehingga jika tidak terdapat salah satu diantara kedua tersebut maka tidak bisa dikatan sebagai pengetahuan. Subyek disini ialah manusia sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan (akal, pancaindra) yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Sedangkan obyek ialah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan tersebut.
Selain itu, Max Scheler, pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kualita yang lain. Lebih lanjut Scheler membedakan kategorikan pengetahuan, yaitu:
a.       pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari.
b.      Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu.
c.       Pengetahuan filosofis, yaitu semacam ilmu yang istimewa, yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa.
d.      Pengetahuan theologis, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang agama, pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.
Sedangkan menurut Machlup membagi pengetahuan menjadi lima kategori utama yaitu sebagai berikut:
a.       Pengetahuan praktis, yaitu pengetahuan yang berguna untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan.
b.      Pengetahuan intelektual, yaitu pengetahuan yang dapat memuaskan keingintahuan intelektual.
c.       Pengetahuan ringan atau hiburan yang dapat memuaskan keingintahuan non inteletual atau untuk memenuhi kepuasan sejenak dan stimulasi emosional. Seperti berita kriminal, lawakan, acara musik dan lain-lain.
d.      Pengetahuan spiritual, yaitu pengetahuan yang dihubungkan dengan pengetahuan keagamaan tentang Tuhan dan cara-cara untuk keselamatan jiwa.
e.       Pengetahuan yang tidak diinginkan, yaitu pengetahuan yang diminati, tetapi tiba-tiba saja diketahui tanpa disengaja[3].
Jadi Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia, dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibagukan secara sitematis. Dengan demikian, pengetahuan lebih bersifat spontan, dan ilmu pengetahuan lebih bersifat sistematis dan reflektif. Berdasarkan cakupannya pengetahuan lebih luas daripada ilmu pegetahuan, karena pengetahuan mencakupsegala sesuatu yang diketahui manusia tanpa tanpa perlu dibakukan secara sistematis.
Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan, dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu serta mencakuppraktek atau kamampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis .
Kesahihan atau kevalidan suatu pengetahuan banyak bergantung pada sumber pengetahuan itu sendiri. Ada dua sumber dalam pengetahuan yaitu sumber tradisi dan autoritas. Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pewarisan atau transmisi dari generasi ke generasi. Sedangkan sumber autoritas yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan baru oleh mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian dibidangnya.

2.      Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau science dalam bahasa latin berasal dari kata scio, scire yang berarti tahu. Dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang juga berarti tahu. Jadi baik ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas[4].
Mohammad Hatta mengartikan ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan  umum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun bangunannya dari dalam[5]. R.B.S. Fudyartanta, seorang sarjana psikologi mengartikan ilmu pengetahuan susunan yang sistematis daripada kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai sesuatu obyek atau masalah yang diperoleh dari pemikiran yang runtut.[6]
Sedangkan menurut Karl Pearson pengarang karya Grammar of Science, ilmu pengetahuan ialah lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana). Selain itu, Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag mengartiakan ilmu pengetahuan yaitu yang empiris, rasional, umum dan bersusun, yang keempatnya serentak.
Dari keterangan-keterangan para ahli tentang ilmu pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis, rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia.
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh dua obyek yaitu obyek materia dan obyek forma. Obyek materia ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu. Sedangkan obyek forma ialah obyek metria yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu yang lainnya, jika berobyek materia yang sama[7].

C.    Perbedan Ilmu, Pengetahuan dan Agama secara Epistimologi.
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pikiran  manusia yang dibantu pengindraannya, yang kebenarannya diujin secara empiris, reset dan eksperimental.
     Sedangkan agama yaitu suatu tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata  keimanan dan tata peribadatan. Berdasarkan sumbernya, agama dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu agama samawi dan agama budaya. Adapun agama samawi yaitu agama berasala dari wahyu, agama langit, sedangkan agama budaya yaitu agama bumi, agama filsafat.
     Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan agama yaitu:
1.      Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu yaitu akal, budi, rasio manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari Allah.
2.      Ditinjau dari cara mencari kebenaran, ilmu pengetahuan mencari kebenarannya dengan jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian. Sedangkan agama mencari kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang masalah asasi kepada Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di bumi.
3.      Ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif dan bersifat nisbi atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah swt[8].
4.      Ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana keraguan ialah syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.
Namun dibalik perbedaan terdapat juga kesamaan antara ilmu pengetahuan dan agama bertujuan yang sama yaitu berbicara tentang kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan dan agama dengan metodenya dan karakteristiknya masing-masing, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan.

D.    Metode Perolehan Ilmu Pengetahuan
Tujuan dari ilmu pengetahuan ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu, yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah. Pendapat para para ahli mengenai metode memperoleh ilmu pengetahuan:
Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan yaitu:
1.      Observasi (pengamatan)
2.      Measuring (pengukuran)
3.      Explaining (penjelasan)
4.      Verifying (pemeriksaan benar tidaknya)
Metode ilmiah versi ke 19, menurut Ir Djuma’in Basalim dalam artikelnya “Orientasi Terhadap Science” ialah sebagai berikut:
1.      Mengajukan pertanyaan terhadap alam
2.      Mengumpulkan bukti-bukti yang tepat
3.      Membuat keterangan secara hipotesa
4.      Mengumpulkan pengertian
5.      Mengetes secara experimental
6.      Menolak atau menyetujui atau berubah hipotesa yang telah disusun.
Menurut Elgin F. Hunt meliputi enam bagian yaitu:
1.      Observasi
2.      Perumusan masalah
3.      Mengumpulkan dan mengklasifikasikan fakta tambahan yang baru
4.      Mengadakan generalisasi
5.      Perumusan hipotesa
6.      Mengadakan testing dan verifikasi[9].
Dari rangkaian keterangan tersebut diatas jelaslah bahwa terbentang jalan yang panjang harus dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Proses yang ditempuh itu, yang dikenal dengan sebutan metode  ilmiah yaitu sebagai berikut:
1.      Pengumpulan data dan fakta
2.      Pengamatan terhadap data dan fakta tersebut
3.      Pemilihan (seleksi) data dan fakta
4.      Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta
5.      Penafsiran (interpretasi) data dan fakta
6.      Penarikan kesimpulan umum (generalisasi)
7.      Perumusan hipotesa
8.      Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiri, dan experimen
9.      Penilaian (evaluasi), menerima atau menolak, menambah atau merubah hipotesa
10.  Perumusan teori ilmu pengetahuan
11.  Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan

E.     Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar. Hal ini diakui Meksim Rodorson  (seorang penulis Marxis) ketika menelaah Q.S. Ali Imrân/3: 190-191 dan Q.S. Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam al-Qur`an kata ‘aqala  (mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari lima puluh kali dan sebanyak tiga belas kali berupa bentuk pertanyaan sebagai protes yang mengarah pada kajian ilmiyah, seperti “Apakah kamu tidak berakal?". Seandainya meneliti kata-kata lainnya: nazhara (menganalisa), tafakkara (memikirkan), faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan (bukti, argumentasi), lubb (intelektual, cerdas, berakal) dan lain-lain, niscaya akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiyah yang terdapat dalam al-Qur`an[10].
Maka dapat dikatakan bahwa ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan al-Qur`an mengisyaratkan mengenai hal ini. Setiap kali Allah menerangkan fakta-fakta penciptaan, lalu diiringi dengan pernyataan, misalnya:
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran/3: 190-191)[11].
Karena itu, ada beberapa definisi al-‘ilmu yang disodorkan para ulama sebagaimana dikemukakan Syarief ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, yaitu: “keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan”, “sampainya gambaran sesuatu terhadap akal”, “hilangnya keraguan setelah diketahui”, “hilangnya kebodohan”, “merasa cukup setelah tahu”. Dikatakan pula “sebagai sifat yang mendalam yang dapat mengetahui perkara yang universal dan farsial” atau “sampainya jiwa kepada sesuatu makna yang diketahui”. Adapula yang memberikan definisi dengan “ilmu adalah istilah untuk menyebutkan terjadinya kesinambungan yang khusus antara subjek yang berpikir dan objek yang dipikirkan”. Juga (pengertian yang lebih ringkas) “mengetahui sifat persifat”. Disebut Ilmu al-Yaqin, adalah pengetahuan yang berdasarkan dalil dengan gambaran berupa perkara yang meyakinkan[12].
Karena itu cara pandang seseorang terhadap ‘sesuatu’ itu, merupakan pandangan hidupnya (worldview). Dan lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak lepas dari kandungan al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi. Jadi, jika kelahiran ilmu dalam Islam dibagi secara periodik, menurut Hamid Fahmi Zarkasy urutannya sebagai berikut: 1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, 2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur`an dan al-Hadits, 3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan 4) Lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam[13].
Selain itu dalam al Qur'an seperti dalam surat al Mujadalah ayat 11 telah banyak membecirakan tentang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dalam Islam seperti:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan[14].
Menurut al Maraghi ayat tersebut memberikan isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajirinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak dibiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.[15]
Sebagaimana dituturkan Syed Naquib al-Attas. Menurutnya, untuk membangun peradaban Islam, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan yang disebutnya sebagai ‘ta’dîb’ yang tujuannya membentuk manusia beradab. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban. Seorang dapat menjadi manusia beradab, jika memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam harus dapat mengantarkan anak didiknya kepada tujuan ilmu yang utama, yakni membentuk manusia yang beradab. Pendidikan ini harus dibangun di atas konsep yang benar. Pendidikan akan gagal mewujudkan tujuannya, jika dibangun di atas konsep ilmu yang salah, yakni ilmu yang tidak mengantarkan kepada ketakwaan dan kebahagiaan[16].
Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: 1) akal diandalkan untuk membimbing manusia, 2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, 4) membela doktrin humanisme, 5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan[17].
Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus ditetapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden)[18].
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:
1.      Al Qur'an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.
2.      Dorongan al Qur'an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al Qur'an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.
3.      Sungguhpun banyak temuan dibidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat al Qur'an, namun al Qur'an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan. Al Qur'an tidak mencakup cabang ilmu pengetahuan.
4.      Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran al Qur'an. Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya benar, sedangkan al Qur'an bersifat mutlak dan berlaku sepanjang zaman.
5.      Al Qur'an adalah kitab yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak yang mulia.
6.      Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.
7.      Sebagai kitab petunjuk al Qur'an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaanya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
8.      Al Qur'an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu  (aksiologi).
Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (al Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu dan persayaratan tertentu. Sedangkan ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.[19]

F.     Etika Penggunaan Ilmu Penggunaan (Aksiologis)
Etika berasal dari dari bahasa Yunani Ethikos, atau ethos yang berarti adat atau kebiasaan. Selanjutnya ethikos berkembang menjadi ekuivalen atau moralitas. Perilaku etis berkaitan dengan baik atau benar[20].
Hubungan etika dalam ilmu pengetahuan yaitu berkaitan dengan kebenaran ilmiah dengan nilai kemanfaat yaitu berkaitan dengan kebenaran ilmiah dengan nilai kemanfaatannya harus menjadi tolak ukur perilaku. Suatu oerilaku mengandung nilai baik apabila nilai kebenaran ilmiah dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan kehidupan manusia dan masyarakat.
Aspek etika ilmu pengetahuan adalah tenang hakikat konkrit individual ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan baru dapat berfungsi ketika teori-teori ilmiah dibangun menjadi sebuah sistem teknologi. Jadi, rancang bangunan teknologi dibuat berdasar teori-teori kebenaran ilmiah, semata-mata untuk tujuan pemberdayaan nilai-nilai kebenaran ilmiah, yaitu kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan dan bagi tercapainya tujuan hidup[21].
Dengan potensi teknologi manusia seharusnya mampu dan mau untuk pertama kali bersikap dan berperilaku adil dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal ini berarti manusia harus memprioritaskan bersikap adil terhadap semua makhluk. Selanjutnya manusia mampu dan mau bersikap adil terhadap sesama manusia dan barurah manusai manusia mampu dan mau bersikapm adil terhadap diri sendiri.
Jadi, dalam hakikat ilmu pengetahuan, terutama pada titik etika, yaitu hakikat konkrit individual, memperingatkan kepada umat manusia untuk menomorsatukan kebutuhan hidup dan menomorduakan keinginan hidup. Denga perilaku tersebut, manusia mendapatkan kembali posisi dan perannya sebagai pemimpin (khalifahtullah) kehidupan yang bertanggung jawab terhadap kelestarian sebagai tempat dimana manusia dan makhluk lain. Dengan kepemimpinannya, manusioa bukan lagi sebagai penguasa atas hidup ini, yang terbukti mengakibatkan pengerusakan terhadap lingkungan hidup dan moralitas manusia itu sendiri.  Dengan demikian manusia mendapatkan potensinya kembali untuk mengembangkan kehidupannya dalam rangka mencapai tujuan hidup. Hai ini berarti manusia berkesempatan untuk mewujudkan nilai keadilan dalam kehidupan ini, sehingga kehidupan ini bisa menjadi semakin berbudaya, semakin spritual dan semakin relegius.

G.    Implikasi dalam Pendidikan
Pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur'an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Keterkaitan ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:[22]
1.      Tujuan dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan perilaku tertentu yang dalam konteks Islam adalah agar menjadi sorang muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun dalam proses menuju ke arah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain pengajaran adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.      Bahwa dalam kegiatan pengajaran tersebut, seorang guru mau tidak mau harus mengajarkan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai informasi, teori, rumus, konsep-konsep dan sebagainya yang diperlukan untuk untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Dari proses pengajaran yang demikian akan terciptanya pemahaman, penghayatan, dan pengalaman.
3.      Bahwa melalui pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dan seterusnya. Sikap yang demikian itu sangat dianjurkan dalam al Qur'an.
4.      Bahwa dalam pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al Qur'an. Yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan yang ditujukan bukan semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah di balik ilmu pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah SWT. Maka ilmu pengetahuan tersebut akan memperkokoh akidah, meningkatkan ibadah, dan akhlak mulia.
5.      Pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran al Qur'an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur, sekuler, dan ateistik, sebagaimana yang dijumpai pada pengembangan ilmu pengetahuan di Barat.
6.      Pendidikan harus mampu mendorong anak didik agar mencitai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari ciptaannya semangat dan etos keilmuan yang tinggi, memelihara, menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepetingan dirinya, agama, bangsa, dan negara.
    
H.    Kesimpulan
     Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia, dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis, rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia. Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan agama yaitu:
1.      Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu yaitu akal, budi, rasio manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari Allah.
2.      Ditinjau dari cara mencari kebenaran, ilmu pengetahuan mencari kebenarannya dengan jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian. Sedangkan agama mencari kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang masalah asasi kepada Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di bumi.
3.      Ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif dan bersifat nisbi atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah swt.
4.      Ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana keraguan ialah syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.
Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar.
Etika penggunaan ilmu pengetahuan, dimana pengetahuan merupakan kebenaran ilmiah, sehingga dalam penerapan dibidang teknologi ilmu tersebut harus dapat berfungsi sebagai kelangsuangan hidup manusia. Selain itu, manusia sebagai subyek ilmu pengetahuan harus bersikap adil baik adil terhadap makhluk lain, adil terhadap manusia maupun adil terhadap diri sendiri.





Daftar Pustaka

Armas, Adnin, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”, 2006
Fahmi Zarkasy, Hamid, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Pandangan Hidup sebagai Asas Epistemologi Islam”.
Fudyartanta, R.B.S., Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Cipta Karya Abadi, 1970
Harsojo, Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia, Bandung: Remaja Rosdakrya, 1972
Http://pusdiklat-dewandakwah.com/Akses pada tanggal 27-09-2011
Langeveld, M.J., Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, Jakarta: Bumi Aksara, 1955
Nata, Abudin. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Pudjawijatna, I.R., Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Pustaka Setia, 1967
Qaradhawi, Yusuf, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri,  Jakarta: Gunung Agung 2003
Saifuddin, Ansori Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1987
S. Praja, Juhaya, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Jakarta: Teraju, 2002
Suhartono, Suparlan  , Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011



[1]Suparlan  Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hal. 49
[2] M.J. Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, (Jakarta: Bumi, 1955), hal. 29
[3] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 2
[4] Endang Saifuddin Ansori, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hal. 47
[5] Muhammad Hatta, hal. 12
[6] R.B.S. Fudyartanta, Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:Cipta Karya Abadi, 1970), hal. 11
[7] I.R Pudjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Pustaka Setia, 1967) hal. 29-30.
[8] “agama bermula dengan percaya”, tulis Mohammad Hatta, “Ia menerima suatu kebenaran dengan tak mau dibantah lagi, kebenarannya bersifat absolut. Sungguhpun kebenaran itu terbatas, bagi orang yang percaya saja, sifat absolut itu tetap padanya”
 
[9] Harsojo, Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia, (Bandung, Remaja Rosdakrya, 1972), hal. 10
[10] Yusuf Qaradhawi, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri,  (Jakarta: Gunung Agung 2003) hal. 11
[11] Al Qur'an dan terjemahan, Departemen Agama
[12] Http://pusdiklat-dewandakwah.com/Akses pada tanggal 27-09-2011
[13] Hamid Fahmi Zarkasy, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Pandangan Hidup sebagai Asas Epistemologi Islam”, 2006: hal. 8.
[14] Al Qur'an dan Terjemahan,
[15]Abudin Nata, Tafsir Ayat ayat Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 159 
[17] Ibid, hal. 5
[18] Adnin Armas, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”, 2006: 20.
[19] Ibid, hal. 168
[20] Suparlan Suhartono, hal. 123
[21] Ibid, hal. 125
[22] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, hal. 169-170

1 komentar :

  1. 1xbet korean 2021 ᐈ 1xbet Korean Odds & Online Betting |
    1xbet Korean betting is a legal online and mobile betting site that 1xbet korean allows users to bet on sports, casino games, sports betting, and 제왕 카지노 casino games. 인카지노

    BalasHapus